Film Review: Posesif (2017)


Jadi, apa yang ada di pikiran anda ketika tahu ada film Indonesia tentang percintaan anak SMA? Mungkin kebanyakan orang akan berpikir “Ah, basi. Paling jatuhnya percintaan menye-menye yang cheesy dan lebay.” Oke, pikiran seperti itu sah-sah saja. Tapi pada akhirnya, film berjudul Posesif akan mematahkan stereotip itu dan menunjukkan dengan mantapnya bahwa film dengan tema tersebut masih bisa menjadi film yang dapat meninggalkan kesan mendalam setelah menontonnya, yang mana itu merupakan pertanda bagus.

Sebelum saya menulis lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa di ulasan saya kali ini akan mengandung spoiler berat. Saya ulangi, spoiler berat. Jadi, jika kalian belum menonton salah satu film Indonesia terbaik tahun ini (Ya, terbaik, mendapatkan 10 nominasi Piala Citra tahun ini), saya tidak terlalu menyarankan anda untuk membaca ulasan saya ini, kecuali jika anda spoiler junkie seperti saya. Hehe.

Baiklah. Jadi, Posesif ini bercerita tentang Lala (Putri Marino), seorang murid SMA dan juga atlit loncat indah. Dia bertemu dengan Yudhis (Adipati Dolken) yang merupakan anak baru di sekolahnya. Dalam waktu singkat mereka pdkt dengan cara yang manis dan akhirnya pacaran. Untuk Lala, Yudhis merupakan cinta pertamanya. Yudhis sendiri merupakan sosok yang manis dan romantis. Setidaknya itulah yang terlihat di awal, karena seiring berjalannya waktu, Yudhis berubah menjadi seseorang yang kasar, emosional, dan super posesif yang membuatnya terlihat mengerikan. Berbagai cara pun mereka coba untuk tetap mempertahankan hubungan mereka.


Sekilas plot cerita terdengar biasa saja. Tapi di tangan Edwin di bangku sutradara dan Gina S. Noer di bangku penulis naskah, plot tersebut dikemas sedemikian rupa menjadi tontonan yang sangat berkualitas, bukan sekedar roman picisan belaka. Dari awal kita diberikan perkenalan manis tentang hubungan Lala dan Yudhis, serta latar belakang keluarga Lala dimana dia merupakan anak tunggal yang hanya hidup dengan ayahnya (Yayu Unru) karena ibunya sudah meninggal. Ayah Lala sendiri merupakan pelatih atlet loncat indah. Sang ayah lumayan ketat dalam menjadi seorang pelatih dan sosok figur ayah di mata Lala, sehingga terkadang Lala merasa terkekang dan tidak nyaman dibuatnya. Terlebih karena pengaruh Yudhis yang intimidatif dan posesif, Lala pun sempat membangkang dengan keluar dari tim atlet nasional loncat indah.

Di sinilah perjalanan hubungan Lala dan Yudhis semakin fluktuatif dan membuat yang menontonnya tidak lagi bisa nyaman di zona drama romantis percintaan remaja, melainkan sudah mulai bergeser ke area suspense yang dapat membuat jantung berdebar-debar. Kenapa? Karena Yudhis mulai menunjukkan ‘warna aslinya’ ketika sifat posesifnya muncul dengan selalu menghubungi Lala berkali-kali jika Lala tak langsung menjawab, selalu mencurigai Lala dan bahkan Yudhis tak ragu untuk melukai teman Lala yaitu Gino (Chicco Kurniawan) karena dibakar api cemburu. Tetapi sesudahnya Yudhis akan menangis layaknya bayi ketika menyadari kesalahan yang sudah di perbuat dan memohon-mohon maaf dari Lala dengan ibanya. Kesan pertama yang saya tangkap ketika Yudhis sudah mulai bertingkah seperti itu adalah memang karakter ini dibuat layaknya seperti orang yang sakit jiwanya. Saya yakin masalah ketidakstabilan emosi Yudhis bukan tanpa alasan, pasti ada sesuatu atau seseorang di sekitarnya yang mempengaruhi dirinya hingga menjadi pribadi yang seperti itu. Dan benar saja, hal itu Yudhis dapat dari orang terdekatnya, yaitu sang ibu.

Kemunculan ibu Yudhis (Cut Mini) pertama kali masih dalam tahap yang wajar, seorang ibu perfeksionis dan bossy yang hanya mau yang terbaik untuk anaknya. Tetapi di scene selanjutnya, sang ibu yang merupakan single parent karena ditinggal suaminya mulai melakukan kekerasan kepada Yudhis yang lantas membuka tabir kejelasan tentang darimana Yudhis mendapatkan sikapnya tersebut. Ketika Lala akhirnya mengetahui hal tersebut, sontak Lala seolah-olah melupakan hal buruk apa saja yang pernah dilakukan Yudhis dan serta merta merangkul Yudhis lagi dalam pelukannya atas nama kasih sayang yang masih dia rasakan ke Yudhis terlepas dari carut marut dan rumitnya hubungan yang mereka jalani sendiri.


Dua sejoli muda saling jatuh cinta dengan segala rintangannya, tidak gentar untuk tetap bersama, mereka melawan dunia. Kurang lebih ekspresi seperti itulah yang bisa menggambarkan kualitas hubungan mereka menjelang film berakhir. Hingga terjadilah sebuah turning point yang menyadarkan Yudhis bahwa tidak peduli sebesar apapun cinta mereka satu sama lain, sekuat apapun mereka berusaha untuk tetap bersama, hal tersebut tidak akan mungkin berhasil. Pemikiran Yudhis ini jelas dibantah telak oleh Lala yang sudah mengorbankan apapun; ayahnya, pertemanannya, hanya untuk bersama Yudhis seorang. Ketika akal pikiran lebih mendominasi daripada perasaan, disitulah akhirnya Yudhis meninggalkan Lala begitu saja, tanpa pesan manis, tanpa pesan yang dapat menenangkan hati. Tidak ada.

Disinilah kesedihan lainnya yang menggetarkan hati terjadi. Ketika Lala pulang sendiri ke rumahnya dan mendekap erat ayahnya sambil menangis terisak-terisak, saat itulah saya pun tak kuasa dapat menahan tangis. Film ini dibuat dengan hati, sehingga tiap adegannya meninggalkan kesan mendalam. Hal itu tidak mungkin dapat terwujud tanpa pendalaman karakter kuat yang diberikan oleh para pemainnya. Setiap pemain di sini tampil sangat cemerlang. Putri Marino amat sangat meyakinkan membawakan peran Lala yang terlihat bersahaja dan menyenangkan. Saya juga ingin angkat topi setinggi-tingginya untuk Adipati Dolken yang sukses membius penonton dengan melihat perubahan karakter drastis yang dialami Yudhis. Adipati bisa mentransfer energi kengerian Yudhis hanya melalui tatapan matanya dan di menit selanjutnya bisa berubah menjadi sosok lemah yang memohon maaf seperti layaknya anak anjing kecil yang tak berdaya. Karakter-karakter pendukungnya pun memberikan performa yang mumpuni untuk membantu jalannya cerita film menjadi halus dan enak untuk diikuti.

Cara pengambilan gambar di film ini juga memanjakan mata dengan shot-shot indah yang didukung oleh setting tempat yang menarik seperti kamar Lala yang terlihat masa kini seperti foto-foto di tumblr, ketika Lala latihan loncat indah dari ketinggian 10 meter dan masih banyak lagi shot lainnya yang memukau. Lalu, soundtracknya. Soundtrack film ini seakan-akan bersinkronisasi dengan syahdunya di tiap-tiap adegan. Dijamin setelah menonton film ini, anda tidak akan berhenti mendengar lagu “Dan” oleh Sheila on 7 dan anda akan meresapi lebih jauh lagi tentang makna lagu tersebut.

Membahas film Posesif kurang sempurna rasanya jika tidak membahas endingnya. Endingnya sendiri sempat di-foreshadowing di awal film. Di ending film, Lala sedang lari pagi dan entah sengaja atau tidak (dari pihak Yudhisnya), Lala berpapasan dengan Yudhis. Lala sempat tersentak sesaat melihat Yudhis karena sudah lama dia tak melihatnya, tapi kemudian Lala tetap lari ke depan dan tidak menyapa Yudhis. Lalu film selesai. Film ini ditutup dengan ending seperti itu, tentu saja itu merupakan ending yang paripurna buat saya, sangat menusuk hati. Ending seperti itu bisa terbuka dengan berbagai macam kemungkinan. Saya disini hanya sekedar ingin mengutarakan pendapat saya. Seketika saya teringat dengan istilah ini: orang asing – kenalan – teman – pdkt – pacar – bertengkar hebat – hilang komunikasi – orang asing. Saya merasa endingnya menggunakan formula tersebut. Begitulah cinta, bisa menjadi sesuatu yang sangat indah dan bisa juga destruktif dan membuat semua yang dulu berarti menjadi seperti tak pernah mempunyai arti. Ketika Lala melihat Yudhis kembali, mungkin dia jadi teringat tentang semua hal yang dia korbankan untuk tetap mempertahankan hubungannya dengan Yudhis, tetapi pada akhirnya dicampakkan karena keadaan. Tapi untungnya Lala sudah dalam keadaan tenang, dan dia pada akhirnya sanggup merelakan Yudhis pergi dari hidupnya dan berdamai dengan letupan emosi di hatinya. Ya, hidup memang sekeras itu, apalagi jika cinta menjadi bumbunya. Tapi bukankah tanpa cinta dan segala komplikasinya, hidup akan menjadi hambar?

Directing: 8.3
Acting: 8.8
Story: 8.5

RATING:  8.5

Comments

  1. reviewnya pas, tidak lebay daaan.. sangat menggambarkan filmnya.
    goodjob flickwanderer! ninggal jejak~

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Coming Soon: Up In The Air.

Film Review: Wonder (2017)