Film Review: Goodnight Mommy (2014)
Europe on Screen memang selalu dinanti kedatangannya tiap
tahun. Bagaimana tidak, dalam acara tersebut kita berkesempatan untuk menonton
film-film unggulan Eropa yang ditayangkan di beberapa tempat tersebar di
kota-kota besar di Indonesia dengan tidak membayar sama sekali alias gratis.
Untuk tahun ini, saya memutuskan untuk menonton Goodnight Mommy, film horor
misteri dari Austria. Film berdurasi 99 menit ini keluar pada tahun 2014 dan
memenangkan beberapa penghargaan seperti Austrian Film Award 2016 sebagai Film
Terbaik dan Ljubljana International Film Festival 2014 sebagai Film Terbaik
juga.
Film ini bercerita tentang sepasang anak kembar bernama
Lukas (Lukas Schwarz) dan Elias (Elias Schwarz) yang menyambut ibunya (Susanne
Wuest) pulang ke rumah setelah menjalani operasi bedah pada mukanya sehingga
hampir seluruh permukaan mukanya ditutup oleh perban. Seiring berjalannya
waktu, misteri demi misteri berdatangan ketika Lukas dan Elias mulai menaruh
curiga kepada ibunya karena ibunya memperlihatkan sikap aneh dan mereka yakin
bahwa yang pulang ke rumah bukanlah ibunya dan mereka melakukan berbagai cara
untuk membuktikan hal tersebut.
Kalau boleh jujur, paruh awal film terasa sangat dragging,
lama dan membosankan. Tapi di satu sisi, kebosanan itu tetap dapat membuat
penontonnya duduk manis atas nama penasaran apakah benar dugaan dari si kembar
itu benar tentang ibunya. Susah payah melewati paruh pertama, lalu kita dibawa
ke pertengahan fim dimana kebosanan tersebut perlahan menghilang dan
tergantikan oleh meningkatnya level kemisteriusan film ini untuk mengungkap apa
yang sebenarnya terjadi dan inti permasalahan yang coba disuguhkan di film ini.
Dan ketika memasuki paruh akhir, film ini menendang lumayan keras dengan
twistnya yang sebenarnya sudah dapat ditebak sebelumnya dan bukanlah hal yan baru, tapi tetap saja
efektif untuk membuat kesimpulan dari perjalanan ketiga tokoh utama di sini.
Sepanjang film, perasaan tidak enak dan tidak nyaman sudah
disuguhkan oleh Goodnight Mommy dari awal hingga akhir. Belum lagi lokasi film
yang sebagian besar diambil di rumah si kembar dan ibunya yang terletak di
pedalaman desa, dikelilingi oleh ladang jagung dan hutan, tidak punya tetangga
dan terkesan terasingkan membuat atmosfer gelap dan misterius semakin terasa
kental. Hal lain yang mendukung film ini terasa suram adalah simbol-simbol,
makna kiasan, adegan-adegan janggal dan akting brilian dari tiga tokoh utama di
film ini yang membuat kita masih memikirkannya setelah selesai menonton.
Film ditutup dengan twist yang mengarah kepada open ending,
penonton diberikan tugas untuk menyimpulkan sendiri bagaimana sekiranya film
ini berakhir. Tidak hanya endingnya, penonton juga diberikan keleluasaan
sendiri untuk memutuskan sebenarnya konflik apa yang terjadi di sini, mana yang
antagonis dan mana yang protagonis. Semua kemugkinan terbuka lebar dan semua
itu bisa saja mungkin terjadi. Di sinilah mengapa saya merasa saya harus
mengangkat topi setinggi-tingginya untuk sang sutradara dan penulis, Veronika
Franz dan Severin Fiala untuk karyanya yang brilian ini.
Directing: 8.5
Acting: 8.2
Story: 8.8
RATING: 8.5/10
Comments
Post a Comment